A. Pengertian Hadits Maudhu
Secara etimologis kata maudhu' berasal dari akar
kata (وَضَعَ يَضَعُ وَضْعًا
فَهُوَ مَوْضُوْعٌ) berarti diletakkan, dibiarkan,
digugurkan, ditinggalkan, dan dibuat-buat.
Secara terminologis, para
muhadditsin memberikan pengertian dengan redaksi yang beragam, tetapi pada
intinya mempunyai makna yang sama. Hadits maudhu' adalah :
مَا
نُسِبَ إلى الرسول ﷺ اختلاقاً
وكذبًا مِمَّا لَمْ يَقُلْهُ أَو يَفْعَلْهُ أَو يُقِرَّهُ
"Sesuatu yang disandarkan
kepada Rasul Saw secara mengada-ada dan bohong dari apa yang tidak dikatakan
beliau atau dilakukan dan atau tidak disetujuinya"
Menurut Nuruddin 'Itr
maudhu' adalah:
الحديث الموضوع هو المختلق المصنوع
"Hadits maudhu' adalah
hadits yang diada-adakan dan dibuat-buat"
Yakni hadits yang
disandarkan kepada Rasulullah Saw, dengan dusta dan tidak ada kaitan hakiki
dengan Rasulullah Saw. bahkan, sebenarnya ia bukan hadits, hanya saja para
ulama menamainya hadits mengingat adanya anggapan rawinya bahwa hal itu adalah
hadits.
Sedangkan Mohamad
Najib (2001:38) merumuskan pengertian hadits maudhu' secara istilah sebagai
berikut:
الموضوع:
الحديث المختلق المصنوع المكذوب على رسول الله ﷺ عمدا
او خطأ
"Hadits maudhu' adalah
hadits yang diciptakan dan dibuat-buat, yang bersifat dusta terhadap Rasulullah
Saw, dibuat secara sengaja atau tidak sengaja"
Beberapa unsur
penting dalam batasan definisi al-maudhu' adalah sebagai berikut.
a. Unsur (pembuatan)
atau (dibuat-buat). Artinya, apa yang disebut sebagai hadits oleh rawi
penyampai riwayat itu adalah hadits "buatan" dia sendiri, bukan
ucapan, perbuatan, atau keterangan Nabi Saw.
b. Unsur (dusta)atau
(menipu). Artinya, apa yang dikatakan rawi sebagai hadits Nabi adalah
"dusta" dan "tipuan" belaka dari dirinya sendiri, karena
bukan hadits Nabi. Hanya dia mengatakan bahwa hadits itu berasal dari Nabi Saw.
c. Unsur (sengaja) dan
(tidak sengaja). Artinya, pembuatan hadits dusta yang disebut sebagai hadits
Nabi itu dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja.
B.
Bentuk-bentuk kemaudhu'an
Setidaknya ada dua
bentuk pemalsuan hadits, yang dilakukan para pemalsu hadits. Di antaranya:
Pertama, pemalsu hadits membuat hadits
palsu dengan redaksi sendiri, kemudian dinisbatkan kepada Nabi Saw, dengan cara
dilengkapi dengan sanad dan diriwayatkan olehnya.
Kedua, pemalsu hadits mengambil
redaksi dari orang lain, seperti para ahli hikmah, dan lain-lain, kemudian
kemudian dinisbatkan kepada Nabi Saw, dengan cara dilengkapi dengan sanad.
C.
Sebab-sebab Pemalsuan Hadits
Klasifikasi para
pemalsu Hadits berdasarkan
motif-motif mereka dalam memalsukan hadits, sebagai berikut:
a. Sebab pemalsuan
hadits yang pertama kali muncul adalah adanya perselisihan yang melanda kaum
muslimin pada masa fitnah dan kasus-kasus yang mengikutinya; yakni umat Islam
terpecah menjadi beberapa kelompok. Kemudian, pengikut setiap kelompok dengan
leluasa memalsukan hadits-hadits untuk membela diri dalam menghadapi kelompok
yang beranggapan bahwa merekalah yang berhak memegang kepemimpinan sebagai
khalifah, di samping untuk memperlancar
tujuan dan cita-cita mereka. Misalnya, hadits maudhu' yang berkaitan dengan
keutamaan-keutamaan sahabat tertentu. Seperti, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali,
Muawiyah dan lain-lain.
أَبُوْ بَكْرٍ يَلِي أُمَّتِي بَعْدِيْ
"Abu Bakar
akan memimpin umatku setelah aku"
عَلي خَيرُ البَشَرِ مَنْ شَكّ
فِيهِ كَفَرَ
Ali adalah manusia
yang paling baik, dan barang siapa ragu terhadapnya maka ia
menjadi kafir"
الأُمَنَاءُ ثَلَاثَةٌ انا
وجبريل ومُعَاوِيَةٌ
"Pemegang
kepercayaan di dunia itu ada tiga, yaitu aku, Jibril, dan Mu'awiyah"
Ada juga hadits
maudhu' lain yang diciptakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk memperkuat
posisinya dalam menghadapi lawan politiknya sehubungan dengan masalah-masalah khilafiyah.
b. Sebab kedua adalah permusuhan
terhadap Islam dan untuk menjelek- jelekkannya. Yaitu usaha yang ditempuh oleh
orang-orang zindik, terlebih lagi oleh keturunan bangsa-bangsa yang telah
dikalahkan oleh umat Islam. Mereka berusaha sedapat mungkin untuk merusak
urusan kaum muslimin dengan menyelipkan ajaran-ajaran batil ke dalam Islam dengan
harapan kaum muslimin tidak dapat menghindarinya walau dengan berbagai
kemampuan, argumentasi, dan bukti-bukti. Di antara hadits yang dipalsukan
adalah:
أَنَاخَاتَمُ
النَّبِيِّين لَانَبِيَّ بَعْدِي إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ
"Aku adalah
penutup para Nabi, tidak ada Nabi setelahku kecuali apabila dikehendaki
Allah"
Dalam hadits ini
menambahkan kata "kecuali apabila dikehendaki Allah" dengan maksud
untuk menguatkan anggapan dari tindakannya, yakni menentang, zindik, dan
mengaku sebagai Nabi.
c. Sebab ketiga adalah
al-Targhib wa al-Tarhib untuk mendorong manusia berbuat kebaikan. Hal ini
dilakukan oleh orang yang dangkal ilmunya tapi berkecimpung dalam bidang zuhud
dan tekun beribadah. Semangat keagamaan mereka yang bercampur dengan
ketidaktahuan itu mendorong mereka memalsukan hadits-hadits al-Targhib wa
al-Tarhib agar dapat memotivasi orang lain untuk berbuat kebaikan dan
meninggalkan kejahatan menurut anggapan mereka yang rusak.
d. Sebab keempat
adalah upaya untuk memperoleh fasilitas duniawi, seperti pendekatan kepada
pemerintah atau upaya untuk mengumpulkan manusia ke dalam majelis, seperti yang
dilakukan oleh para juru cerita dan para peminta-minta. Dampak negative
kelompok ini sangat besar.
e. Sebab kelima adalah
kemaudhu'an yang terjadi pada hadits seorang rawi tanpa disengaja, seperti
kesalahannya menyandarkan kepada Nabi Saw. kata- kata yang sebenarnya diucapkan
oleh sahabat atau lainnya. Penyebab lainnya adalah rawi yang daya ingatnya atau
penglihatannya terganggu atau kitabnya rusak sehingga ia meriwayatkan hadits
yang tidak dikuasainya.
Jenis hadits
maudhu' yang terakhir yang paling samar, karena para rawi-nya tidak sengaja
memalsukannya padahal mereka sebenarnya adalah orang-orang yang jujur. Oleh
karena itu, mengungkap kepalsuan hadits yang demikian sangat sulit kecuali bagi
para imam yang kritis dan analitis. Adapun jenis hadits maudhu' lainnya sangat
mudah diketahui karena semuanya berasal dari kebohongan dan tidak samar kecuali
bagi orang-orang yang kurang pengetahuannya.
D.
Tanda-tanda Hadits Maudhu' pada Sanad
Tanda-tanda yang
dimaksud merupakan kesimpulan penelitian para muhadditsin terhadap
hadits-hadits maudhu' satu persatu, tanda-tanda ini dapat mempermudah
pengenalan terhadap hadits maudhu' dan menghindari resiko pembahasan yang
panjang lebar. Pedoman-pedoman itu meliputi telaah atas keadaan rawi dan
keadaan riwayat. Banyak tanda-tanda hadits maudhu' di antaranya:
a. Pengakuan pembuat
hadits palsu itu sendiri, seperti Abu 'Ishmah Nuh bin Abu Maryam yang mengaku
sendiri telah memalsukan hadits mengenai keutamaan surat-surat al-Qur'an. Ada
juga Abdul Karim bin Abi al-Auja yang mengaku telah membuat 4000 hadits,
mengenai halal dan haram.
b. Tidak sesuai dengan
fakta sejarah, seperti kasus al-Ma'mun bin Ahmad yang menyatakan bahwa al-Hasan
menerima hadits dari Abu Hurairah sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat
dalam masalah tertentu. Ia secara spontan menyebutkan rangkaian sanad yang
sampai kepada Rasulullah Saw.
c. Ada gejala-gejala
para rawi bahwa ia berdusta dengan hadits yang bersangkutan. Seperti kasus
Ghiyats bin Ibrahim. Adanya bukti (qarinah) menempati pengakuan. Seperti
seseorang yang meriwayatkan hadits dengan ungkapan yang meyakinkan (jazam) dari
seorang Syeikh, padahal dalam sejarah ia tidak pernah bertemu dengannya.
E.
Tanda-tanda Hadits Maudhu' pada Matan
Banyak tanda-tanda
kemaudhu'an pada matan, di antaranya:
a. Kerancuan redaksi
atau makna hadits. Salah satu tanda kemaudhu'an hadits adalah lemah dari segi
bahasa dan maknanya. Secara logis tidak dapat diterima bahwa ungkapan itu
datang dari Rasul.
b. Setelah diadakan
pengkajian terhadap suatu hadits ternyata menurut ahli hadits tidak terdapat
dalam hafalan para rawi dan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits, setelah
pengkajian dan pembukuan hadits sempurna.
c. Haditsnya menyalahi
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, seperti menyalahi ketentuan akal dan
tidak dapat ditakwil atau bertolak belakang dengan perasaan dan kejadian
empiris, serta fakta sejarah.
Contohnya:
تَخَتَّمُوا
بِالعَقِيْقِ فَإِنَّهُ يُنْفِي الفَقْرَ
"Pakailah
cincin dengan batu akik karena akik itu bisa menghilangkan kefakiran"
d. Haditsnya
bertentangan dengan dalil al-Qur'an yang qath'i, dan sunah yang mutawatir, atau
ijmak yang pasti dan tidak dapat dikompromikan.
Contoh hadits
tentang batas usia dunia:
وَأَنَّهَا
سَبْعَةُ اۤلَافٍ وَنَحْنُ فِي الْأَلْفِ السَّابِعَةِ
"Sesungguhnya batas usia dunia itu 7000 tahun, dan kita
berada pada seribu tahun yang terakhir"
e. Mengandung pahala
yang berlebihan bagi amal yang kecil. Biasanya motif pemalsuan hadits ini
disampaikan para tukang dongeng yang ingin menarik perhatian para pendengarnya
atau agar menarik pendengar melakukan perbuatan amal shaleh. Akan tetapi
terlalu berlebihan dalam membesarkan suatu amal kecil dengan pahala yang sangat
besar. Misalnya:
مَنْ صَلَّى الضُّحَى كَذَا وَكَذَا
رَكْعَةً أُعْطِيَ ثَوَابَ سَبْعِينَ نَبِيًّا
"Barang siapa
yang shalat dhuha sekian rakaat diberi pahala 70 Nabi"
F.
Hukum Riwayat Hadits Maudhu'
Mahmud Thahan
(2004:111) menjelaskan bahwa para ulama telah sepakat tidaklah halal
meriwayatkan hadits maudhu' bagi orang yang mengetahui akan kemaudhu'annya.
Kecuali jika disertai dengan penjelasan mengenai kemaudhu'annya. Berdasarkan
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
مَنْ
حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيْثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الكَاذِبِيْنِ
"Barang siapa menceritakan
hadits dariku, yang mana riwayat itu diduga adalah kebohongan, maka dia
(perawi) adalah salah satu dari para pembohong tersebut."
G. Sumber-sumber Hadits Maudhu'
Banyak terdapat
kitab-kitab yang menjelaskan hadits maudhu'
yang telah
disusun oleh para
ulama hadits. Mereka mencurahkan segala kemampuan untuk membela kaum muslimin
agar tidak terjerumus ke dalam kebatilan. Di antara kitab-kitab sumber hadits
maudhu' yang terpenting adalah sebagai berikut:
1)
Al-Maudhu'at karya al-Imam al-Hafizh
Abul Faraj Abdurrahman bin al-Jauzi (w.597 H). Kitab ini merupakan kitab yang
pertama dan paling luas pembahasannya dibidang ini. Akan tetapi, kekurangan
kitab ini adalah banyak sekali memuat hadits yang tidak dapat dibuktikan
kepalsuannya, melainkan hanya berstatus dhaif, bahkan ada di antaranya yang
berstatus hasan dan shahih.
2)
Al-La'ali' al-Masnu'ah fi
Ahadits al-Maudhu'ah karya al-Hafizh Jalaluddin al- Suyuthi (w. 911 H). Kitab
ini merupakan ringkasan dari kitab Ibnu al-Jauzi disertai dengan penjelasan
tentang kedudukan hadits-hadits yang bukan maudhu' ditambah dengan
hadits-hadits maudhu' yang belum disebutkan oleh Ibnu Jauzi.
3)
Tanzih al-Syari'ah
al-Marfu'ah 'an al-Ahadits al-Syari'ah al-Maudhu'ah karya al- Hafizh Abu
al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Iraq al-Kannani (w. 963 H)
4)
Al-Manar al-Munif fi al-Shahih
wa al-Dhaif karya al-Hafizh Ibnu Qayim al-Jauziyah (w. 751 H).
5)
Al-Mashnufi al-Hadits
al-Maudhu' karya Ali al-Qari (w. 1014 H). Kitab ini amat ringkas, dan sangat bermanfaat.
0 komentar:
Trimakasih atas kunjungan anda.. Blog ini Dofollow) Silahkan menaruh kritik dan saran pada kotak komentar ini, asal tidak SPAM dan bagi yang mencantumkan link, akan terhapus otomatis.