Thursday, March 30, 2023

HADIST MAUDHU'

 A.     Pengertian Hadits Maudhu

Secara etimologis kata maudhu' berasal dari akar kata  (وَضَعَ يَضَعُ وَضْعًا فَهُوَ مَوْضُوْعٌ) berarti diletakkan, dibiarkan, digugurkan, ditinggalkan, dan dibuat-buat.

Secara terminologis, para muhadditsin memberikan pengertian dengan redaksi yang beragam, tetapi pada intinya mempunyai makna yang sama. Hadits maudhu' adalah :

مَا نُسِبَ إلى الرسول اختلاقاً وكذبًا مِمَّا لَمْ يَقُلْهُ أَو يَفْعَلْهُ أَو يُقِرَّهُ

"Sesuatu yang disandarkan kepada Rasul Saw secara mengada-ada dan bohong dari apa yang tidak dikatakan beliau atau dilakukan dan atau tidak disetujuinya"

Menurut Nuruddin 'Itr maudhu' adalah:

الحديث الموضوع هو المختلق المصنوع

"Hadits maudhu' adalah hadits yang diada-adakan dan dibuat-buat"

Yakni hadits yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, dengan dusta dan tidak ada kaitan hakiki dengan Rasulullah Saw. bahkan, sebenarnya ia bukan hadits, hanya saja para ulama menamainya hadits mengingat adanya anggapan rawinya bahwa hal itu adalah hadits.

 

Sedangkan Mohamad Najib (2001:38) merumuskan pengertian hadits maudhu' secara istilah sebagai berikut:

الموضوع: الحديث المختلق المصنوع المكذوب على رسول الله عمدا او خطأ

"Hadits maudhu' adalah hadits yang diciptakan dan dibuat-buat, yang bersifat dusta terhadap Rasulullah Saw, dibuat secara sengaja atau tidak sengaja"

 

Beberapa unsur penting dalam batasan definisi al-maudhu' adalah sebagai berikut.

a.       Unsur (pembuatan) atau (dibuat-buat). Artinya, apa yang disebut sebagai hadits oleh rawi penyampai riwayat itu adalah hadits "buatan" dia sendiri, bukan ucapan, perbuatan, atau keterangan Nabi Saw.

b.      Unsur (dusta)atau (menipu). Artinya, apa yang dikatakan rawi sebagai hadits Nabi adalah "dusta" dan "tipuan" belaka dari dirinya sendiri, karena bukan hadits Nabi. Hanya dia mengatakan bahwa hadits itu berasal dari Nabi Saw.

c.       Unsur (sengaja) dan (tidak sengaja). Artinya, pembuatan hadits dusta yang disebut sebagai hadits Nabi itu dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja.

 

B.     Bentuk-bentuk kemaudhu'an

Setidaknya ada dua bentuk pemalsuan hadits, yang dilakukan para pemalsu hadits. Di antaranya:

Pertama, pemalsu hadits membuat hadits palsu dengan redaksi sendiri, kemudian dinisbatkan kepada Nabi Saw, dengan cara dilengkapi dengan sanad dan diriwayatkan olehnya.

Kedua, pemalsu hadits mengambil redaksi dari orang lain, seperti para ahli hikmah, dan lain-lain, kemudian kemudian dinisbatkan kepada Nabi Saw, dengan cara dilengkapi dengan sanad.

 

C.      Sebab-sebab Pemalsuan Hadits

Klasifikasi para pemalsu Hadits berdasarkan motif-motif mereka dalam memalsukan hadits, sebagai berikut:

a.       Sebab pemalsuan hadits yang pertama kali muncul adalah adanya perselisihan yang melanda kaum muslimin pada masa fitnah dan kasus-kasus yang mengikutinya; yakni umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok. Kemudian, pengikut setiap kelompok dengan leluasa memalsukan hadits-hadits untuk membela diri dalam menghadapi kelompok yang beranggapan bahwa merekalah yang berhak memegang kepemimpinan sebagai khalifah, di samping untuk memperlancar tujuan dan cita-cita mereka. Misalnya, hadits maudhu' yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan sahabat tertentu. Seperti, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Muawiyah dan lain-lain.

أَبُوْ بَكْرٍ يَلِي أُمَّتِي بَعْدِيْ

"Abu Bakar akan memimpin umatku setelah aku"

عَلي خَيرُ البَشَرِ مَنْ شَكّ فِيهِ كَفَرَ

Ali adalah manusia yang paling baik, dan barang siapa ragu terhadapnya maka ia menjadi kafir"

الأُمَنَاءُ ثَلَاثَةٌ انا وجبريل ومُعَاوِيَةٌ

"Pemegang kepercayaan di dunia itu ada tiga, yaitu aku, Jibril, dan Mu'awiyah"

Ada juga hadits maudhu' lain yang diciptakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk memperkuat posisinya dalam menghadapi lawan politiknya sehubungan dengan masalah-masalah khilafiyah.

b.      Sebab kedua adalah permusuhan terhadap Islam dan untuk menjelek- jelekkannya. Yaitu usaha yang ditempuh oleh orang-orang zindik, terlebih lagi oleh keturunan bangsa-bangsa yang telah dikalahkan oleh umat Islam. Mereka berusaha sedapat mungkin untuk merusak urusan kaum muslimin dengan menyelipkan ajaran-ajaran batil ke dalam Islam dengan harapan kaum muslimin tidak dapat menghindarinya walau dengan berbagai kemampuan, argumentasi, dan bukti-bukti. Di antara hadits yang dipalsukan adalah:

أَنَاخَاتَمُ النَّبِيِّين لَانَبِيَّ بَعْدِي إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ

"Aku adalah penutup para Nabi, tidak ada Nabi setelahku kecuali apabila dikehendaki Allah"

Dalam hadits ini menambahkan kata "kecuali apabila dikehendaki Allah" dengan maksud untuk menguatkan anggapan dari tindakannya, yakni menentang, zindik, dan mengaku sebagai Nabi.

c.       Sebab ketiga adalah al-Targhib wa al-Tarhib untuk mendorong manusia berbuat kebaikan. Hal ini dilakukan oleh orang yang dangkal ilmunya tapi berkecimpung dalam bidang zuhud dan tekun beribadah. Semangat keagamaan mereka yang bercampur dengan ketidaktahuan itu mendorong mereka memalsukan hadits-hadits al-Targhib wa al-Tarhib agar dapat memotivasi orang lain untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan kejahatan menurut anggapan mereka yang rusak.

d.      Sebab keempat adalah upaya untuk memperoleh fasilitas duniawi, seperti pendekatan kepada pemerintah atau upaya untuk mengumpulkan manusia ke dalam majelis, seperti yang dilakukan oleh para juru cerita dan para peminta-minta. Dampak negative kelompok ini sangat besar.

e.       Sebab kelima adalah kemaudhu'an yang terjadi pada hadits seorang rawi tanpa disengaja, seperti kesalahannya menyandarkan kepada Nabi Saw. kata- kata yang sebenarnya diucapkan oleh sahabat atau lainnya. Penyebab lainnya adalah rawi yang daya ingatnya atau penglihatannya terganggu atau kitabnya rusak sehingga ia meriwayatkan hadits yang tidak dikuasainya.

Jenis hadits maudhu' yang terakhir yang paling samar, karena para rawi-nya tidak sengaja memalsukannya padahal mereka sebenarnya adalah orang-orang yang jujur. Oleh karena itu, mengungkap kepalsuan hadits yang demikian sangat sulit kecuali bagi para imam yang kritis dan analitis. Adapun jenis hadits maudhu' lainnya sangat mudah diketahui karena semuanya berasal dari kebohongan dan tidak samar kecuali bagi orang-orang yang kurang pengetahuannya.

 

D.     Tanda-tanda Hadits Maudhu' pada Sanad

Tanda-tanda yang dimaksud merupakan kesimpulan penelitian para muhadditsin terhadap hadits-hadits maudhu' satu persatu, tanda-tanda ini dapat mempermudah pengenalan terhadap hadits maudhu' dan menghindari resiko pembahasan yang panjang lebar. Pedoman-pedoman itu meliputi telaah atas keadaan rawi dan keadaan riwayat. Banyak tanda-tanda hadits maudhu' di antaranya:

a.       Pengakuan pembuat hadits palsu itu sendiri, seperti Abu 'Ishmah Nuh bin Abu Maryam yang mengaku sendiri telah memalsukan hadits mengenai keutamaan surat-surat al-Qur'an. Ada juga Abdul Karim bin Abi al-Auja yang mengaku telah membuat 4000 hadits, mengenai halal dan haram.

b.      Tidak sesuai dengan fakta sejarah, seperti kasus al-Ma'mun bin Ahmad yang menyatakan bahwa al-Hasan menerima hadits dari Abu Hurairah sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat dalam masalah tertentu. Ia secara spontan menyebutkan rangkaian sanad yang sampai kepada Rasulullah Saw.

c.       Ada gejala-gejala para rawi bahwa ia berdusta dengan hadits yang bersangkutan. Seperti kasus Ghiyats bin Ibrahim. Adanya bukti (qarinah) menempati pengakuan. Seperti seseorang yang meriwayatkan hadits dengan ungkapan yang meyakinkan (jazam) dari seorang Syeikh, padahal dalam sejarah ia tidak pernah bertemu dengannya.

 

E.      Tanda-tanda Hadits Maudhu' pada Matan

Banyak tanda-tanda kemaudhu'an pada matan, di antaranya:

a.       Kerancuan redaksi atau makna hadits. Salah satu tanda kemaudhu'an hadits adalah lemah dari segi bahasa dan maknanya. Secara logis tidak dapat diterima bahwa ungkapan itu datang dari Rasul.

b.      Setelah diadakan pengkajian terhadap suatu hadits ternyata menurut ahli hadits tidak terdapat dalam hafalan para rawi dan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits, setelah pengkajian dan pembukuan hadits sempurna.

c.       Haditsnya menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, seperti menyalahi ketentuan akal dan tidak dapat ditakwil atau bertolak belakang dengan perasaan dan kejadian empiris, serta fakta sejarah.

Contohnya:

تَخَتَّمُوا بِالعَقِيْقِ فَإِنَّهُ يُنْفِي الفَقْرَ

"Pakailah cincin dengan batu akik karena akik itu bisa menghilangkan kefakiran"

d.      Haditsnya bertentangan dengan dalil al-Qur'an yang qath'i, dan sunah yang mutawatir, atau ijmak yang pasti dan tidak dapat dikompromikan.

Contoh hadits tentang batas usia dunia:

وَأَنَّهَا سَبْعَةُ اۤلَافٍ وَنَحْنُ فِي الْأَلْفِ السَّابِعَةِ

"Sesungguhnya batas usia dunia itu 7000 tahun, dan kita berada pada seribu tahun yang terakhir"

e.       Mengandung pahala yang berlebihan bagi amal yang kecil. Biasanya motif pemalsuan hadits ini disampaikan para tukang dongeng yang ingin menarik perhatian para pendengarnya atau agar menarik pendengar melakukan perbuatan amal shaleh. Akan tetapi terlalu berlebihan dalam membesarkan suatu amal kecil dengan pahala yang sangat besar. Misalnya:

مَنْ صَلَّى الضُّحَى كَذَا وَكَذَا رَكْعَةً أُعْطِيَ ثَوَابَ سَبْعِينَ نَبِيًّا

"Barang siapa yang shalat dhuha sekian rakaat diberi pahala 70 Nabi"

 

F.      Hukum Riwayat Hadits Maudhu'

Mahmud Thahan (2004:111) menjelaskan bahwa para ulama telah sepakat tidaklah halal meriwayatkan hadits maudhu' bagi orang yang mengetahui akan kemaudhu'annya. Kecuali jika disertai dengan penjelasan mengenai kemaudhu'annya. Berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيْثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الكَاذِبِيْنِ

"Barang siapa menceritakan hadits dariku, yang mana riwayat itu diduga adalah kebohongan, maka dia (perawi) adalah salah satu dari para pembohong tersebut."

 

G.     Sumber-sumber Hadits Maudhu'

Banyak terdapat kitab-kitab yang menjelaskan hadits maudhu'

yang telah

disusun oleh para ulama hadits. Mereka mencurahkan segala kemampuan untuk membela kaum muslimin agar tidak terjerumus ke dalam kebatilan. Di antara kitab-kitab sumber hadits maudhu' yang terpenting adalah sebagai berikut:

1)     Al-Maudhu'at karya al-Imam al-Hafizh Abul Faraj Abdurrahman bin al-Jauzi (w.597 H). Kitab ini merupakan kitab yang pertama dan paling luas pembahasannya dibidang ini. Akan tetapi, kekurangan kitab ini adalah banyak sekali memuat hadits yang tidak dapat dibuktikan kepalsuannya, melainkan hanya berstatus dhaif, bahkan ada di antaranya yang berstatus hasan dan shahih.

2)     Al-La'ali' al-Masnu'ah fi Ahadits al-Maudhu'ah karya al-Hafizh Jalaluddin al- Suyuthi (w. 911 H). Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab Ibnu al-Jauzi disertai dengan penjelasan tentang kedudukan hadits-hadits yang bukan maudhu' ditambah dengan hadits-hadits maudhu' yang belum disebutkan oleh Ibnu Jauzi.

3)     Tanzih al-Syari'ah al-Marfu'ah 'an al-Ahadits al-Syari'ah al-Maudhu'ah karya al- Hafizh Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Iraq al-Kannani (w. 963 H)

4)     Al-Manar al-Munif fi al-Shahih wa al-Dhaif karya al-Hafizh Ibnu Qayim al-Jauziyah (w. 751 H).

5)     Al-Mashnufi al-Hadits al-Maudhu' karya Ali al-Qari (w. 1014 H). Kitab ini amat ringkas, dan sangat bermanfaat.

HADIST HASAN

A.    Pengertian Hadits Hasan

Arti Hasan Secara Bahasa:

Kata الحَسَنُ – hasan – adalah isim musyabbahah dari الحَسَنُ dengan makna الجَمَال yang artinya indah, bagus.

Definisi Hadits Hasan Secara Istilah

Secara istilah ilmu hadits, pengertian hadits hasan mencakup beberapa definisi seperti berikut ini:

Menurut At-Tirmidzi, hadits hasan adalah:

كل حديث يُروى لا يكون في إسناده من يتَّهم بالكذب، ولا يكون الحديث شاذًّا، ويُروى من غير وجه نحو ذاك

”Setiap hadits yang diriwayatkan dan tidak terdapat pada sanadnya perawi yang pendusta dan hadits tersebut tidak syadz, serta diriwayatkan pula melalui jalan yang lain.”

Definisi yang dianggap baik menurut Ath-Thahan adalah definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar, yaitu sebagai berikut:

هو ما اتصل سنده بنقل العدل الذي خف ضبطه، عن مثله إلى منتهاه، من غير شذوذ ولا علة

”Hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan perawi yang adil, ringan (kurang) ke dhabit-annya, dari perawi yang sama (kualitas) dengannya, sampai ke akhir sanad, tidak syadz dan tidak ber-‘illat.”

Berdasarkan definisi-definisi di atas, para ulama hadits merumuskan bahwa kriteria hadits hasan adalah sama dengan hadits shahih kecuali pada hadits hasan terdapat perawi yang tingkat ke dhabit-annya kurang atau lebih rendah dari yang dimiliki oleh perawi hadits shahih.

Oleh karenanya, Ibnu Hajar menegaskan bahwa hadits hasan adalah hadits shahih yang perawinya memiliki sifat dhabith yang lebih rendah dari yang dimiliki oleh perawi hadits shahih.

 

B.     Kriteria Hadits Hasan

Kriteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabithannya.

Matan Mandzhumah al-Baiquniyyah:

٥وَالْحَسَنُ الْمَعْرُوفُ طُرْقاً وَغَدَتْ … رِجَالُهُ لاَ كَالصَّحِيحِ اشْتَهَرَتْ

“Dan (hadits) hasan adalah yang dikenal jalur periwayatannya dan masyhur…(namun) para perawinya tidak seperti (dalam hadits) shahih (dalam kekokohan)”

Kriteria-kriteria hadits hasan dibagi menjadi lima, yakni:

1.      Periwayat (sanad) bersambung.

Yang dimaksudkan dengan sanad bersambung ialah sanad yang selamat dari keguguran. Dengan kata lain, tiap-tiap periwayat dapat saling bertemu dan menerima secara langsung dari guru yang memberi. Keadaan bersambung sanad ini berlaku dari awal sanad, thabaqat pertama (yakni sahabat) hingga kepada periwayat terakhir yang menuliskan hadis tersebut ke dalam kitabnya dengan menyebutkan nama-nama periwayat sebelumnya dari thabaqat ke thabaqat tanpa tertinggal walaupun seorang periwayat (tidak terputus).Jadi, mulai dari periwayat pertama hadis pada tingkatan sahabat sampai kepada periwayat terakhir atau mukharrij, terdapat ketersambungan dalam periwayatan.

2.      Diriwayatkan oleh rawi yang adil.

Mengenai masalah keadilan seorang periwayat, maka menurut Syuhudi Ismail dapat diakumulasi dalam empat kriteria, yaitu: a) beragama Islam, b) mukallaf, c) melaksanakan ketentuan agama, d) memelihara muru’ah.

3.      Diriwayatkan oleh rawi yang hafal (dhabith), tetapi tingkat kehafalannya masih di bawah hadits shahih.

4.      Tidak bertentangan dengan hadits dengan rawi yang tingkat dipercayanya lebih tinggi atau Al-Qur'an.

Menurut Imam al-Syafi’iy, hadis tidak mengandung syadz adalah hadis itu diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya dari Nabi saw, bukan sebaliknya, maka disyaratkan hadis hasan itu bersih dari pertentangan periwayatan, karena apabila bertentangan dengan riwayat yang terpercaya, maka hadis itu ditolak.

5.      Tidak terdapat cacat (‘Illat).

‘Illat hadis, sebagaimana juga syadz hadis, dapat terjadi pada matan, sanad, atau pada matan dan sanad sekaligus. Akan tetapi yang terbanyak, ‘illat hadis terjadi pada sanad.

Jadi, disamping terhindar dari syadz, maka hadis hasan juga terhindar dari ‘illat.

 

C.    Macam-macam Hadits Hasan

Hadis hasan terbagi kepada dua bagian, yaitu hasan li zatih dan hasan li gayrih. Hasan li zatih adalah sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu hasan disebabkan karena matannya terkategori baik, tidak ada zadz dan illat, namun salah satu periwayatnya ada yang kedhabithannya di bawah dari hadis yang terkategori shahih. Atau mungkin saja bisa menjadi disebut sahīh li ghayrih karena ia dikatrol atau ditopan oleh jalur periwayatan hadis yang lain yang lebih kuat dari segi kualitas sanadnya sehingga derajatnya juga turut meningkat.

Sementara hasan li ghayrih adalah hadis yang pada asalnya tidak hasan kemudian meningkat mencapai derajat hasan karena ada hadis lain yang mendukungnya. Hadis hasan li ghayrih pada dasarnya adalah hadis da’īf, namun ia terangkat derajatnya dikarenakan ada hadis lain yang mendukungnya. Seandainya tidak ada yang mendukungnya, maka ia tetap menjadi hadis da’īf. Atau dengan kata lain bahwa hadis itu da’īf disebabkan ia mursal atau tadlīs, atau para periwayatnya yang jujur dan terpercaya itu lemah, atau dalam sanadnya terdapat periwayat yang tertutup dan dia periwayat yang tidak pelupa dan tidak punya banyak salah, serta tidak tertuduh berbuat dusta dan tidak pula termasuk orang yang fasiq, dan hadis ditolong oleh periwayat-periwayat yang kenamaan yang bekedudukan sebagai syahid atau mutābi’. Oleh karenanya, hadis itu disebut hasan li ghayrih.

 

D.     Kehujjahan Hadits Hasan

Hukum hadis hasan dalam hal fungsinya sebagai hujjah dan implementasinya adalah sama seperti hadis sahīh. Hanya saja, jika terjadi pertentangan antara hadis sahīh dengan hadis hasan, maka harus mendahulukan hadis sahīh, karena tingkat kualitas hadis hasan berada di bawah hadis sahīh. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari dimensi kesempurnaan ke-dhabith-an para periwayat hadis hasan yang tidak seoptimal kesempurnaan ke-dhabith-an para periwayat hadis sahīh.

Jadi, hadis hasan, baik hasan li żātih maupun hasan li ghayrih, keduanya dapat dijadikan sebagai hujjah sebagaimana hadis sahīh. Namun oleh Imam alBukhari tidak mengenal hadis hasan, sebab baginya kalau bukan shahih, maka pasti dhaif, dan jika dhaif tidak dapat dijadikan hujjah.

 

E.     Istilah-istilah dalam Hadits Hasan

Ada beberapa istilah yang digunakan oleh para Ulama hadis dalam kaitannya dengan hadis hasan, yaitu:

1.         احسن االساند , Ini merupakan istilah hadis hasan yang tertinggi martabatnya.

2.         هذا حديث حسن االسناد , Maksud dari istilah ini adalah hadis ini hanya sanadnya saja yang hasan tidak sampai mencakup ke-hasan-an matannya, lebih rendah nilainya daripada hadis yang dinilai dengan هذا حديث حسن .

3.         هذا حديث حسن صحيح , Ini merupakan istilah dari al-Tirmidzi yang mempunyai arti, antara lain: Ibnu al-Salāh mengartikannya bahwa hadis itu mempunyai dua sanad, yaitu sanad hasan dan sanad sahīh.

Pendapat lain mengatakan bahwa di antara kedua kata tersebut terdapat huruf penghubung yang dibuang yaitu او (atau). Ibnu Hājar al- ‘Asqalāniy dan Imam al-Suyutiy menjelaskan istilah tersebut dan berkata, apabila hadis itu memiliki dua isnad atau lebih, maka artinya hasan menurut suatu isnad, dan sahīh menurut isnad yang lain. Dan apabila memiliki satu isnad saja, maka artinya adalah hasan menurut suatu kaum, dan sahīh menurut kaum yang lain.

4.         هذا حديث حسن غريب

Istilah al-Tirmiżiy ini sulit untuk dimengerti, tetapi dalam hal ini sebagian Ulama yang mencoba menguraikannya, misalnya ada yang mengatakan bahwa di antara kedua kata tersebut terdapat kata penghubung yang dijatuhkan yaitu او (atau).

Sebagian lagi berpendapat bahwa istilah tersebut mengandung arti hadis yang bagus maknanya. Dijelaskan pula bahwa munculnya istilah hasan sahīh dan hasan garīb karena dihubungkan dengan keadaan periwayatnya. Dikatakan sahīh atau hasan karena periwayatnya memenuhi kriteria hadis sahīh atau hasan, dan dikatakan garīb karena diriwayatkan oleh seorang yang tidak terkenal (garīb).

Lebih lanjut dikatakan bahwa istilah-istilah yang dimunculkan alTirmidzi menandakan akan ketelitian, kemampuan kedalaman serta kehalusan ilmu hadis yang dimilikinya, yang biasa disebut dengan fann al-hadīś (seni dalam ilmu hadis).

5.         هذا حديث حسن جدا, Istilah ini diartikan dengan hadis yang maknanya sangat menarik hati.

F.     Kedudukan Hadits Hasan

Menurut para ulama’ ahli hadits, bahwa hadits hasan, baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih, juga dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu kepastian hukum, yang harus diamalkan. Hanya saja terdapat perbedaan pandangan di antara mereka dalam soal penempatan rutbah atau urutannya, yang disebabkan oleh kualitasnya masing-masing. Ada ulama’ yang tetap mambedakan kualitas kehujjahan, baik antara shahih li dzatih dan shahih li ghairih dengan hasan li dzatih dan hasan li ghairih.

 

G.    Kitab-kitab Hadits Hasan

Diantara kitab-kitab hadis yang memuat hadis hasan adalah sebagai berikut:

1.      Al Jami’ karya Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah al Tirmidzi (209 H-279 H).

Kitab masyhur satu ini dikenal dengan nama Sunan at Tirmidzi yang dimana menjadi sumber hadits hasan, bahkan Ibnu Shalah mengatakan “Kitab Abu Isa At Tirmidzi merupakan kitab rujukan untuk mengetahui hadits hasan. Dan dialah orang pertama yang menciptakan nama hadis hasan dan banyak menyebut nama itu dalam kitabnya”.

2.      Sunan karya Abu Dawud Sulaiman bin al Asy’ats al Sijistani (202 H-273 H).

Didalamnya terdapat hadis shahih, hasan, dan dha’if dengan dijelaskan kecacatannya. Hadis yang dijelaskan kedha’ifannya dan tidak dinilai keshahihannya oleh para ulama dinilai hasan oleh Abu Dawud.

3.      Al Mujtaba karya Imam Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib al Nasa’i (215 H-303 H).

Kitab ini lebih dikenal dengan sebutan Sunan an Nasa’i, dimana Imam an Nasa’i menyusunnya dengan metodologi yang cukup unik dengan memadukan fikih dan kajian sanad serta hadis hadisnya disusun berdasarkan bab-bab fikih.

4.      Sunan al Mushthafa karya Ibnu Majah Muhammad bin Yazid al Qazwini (209 H-273 H).

Kitab ini diakui sebagai kitab Sunan keempat serta merupakan pelengkap dari al kutub sittah yang sekarang menjadi sumber pokok bagi sunnah nabawiyah. Meski sebelumnya para ulama mutaqaddimin tidak memasukkan kitab ini sebagai kitab sumber.

5.      Al Musnad karya Imam Ahmad bin Hanbal (164 H-241 H).

Kitab ini disusun berdasarkan nama nama sahabat yang meriwayatkan hadis yang bersangkutan, layaknya sistematika penyusunan kitab musnad, adapun jumlah hadis yang terdapat dalam kitab kurang lebih 30.000  hadis Shahih, hasan dan dhaif.

6.      Al Musnad karya Imam Abu Ya’la al Maushili Ahmad bin Ali bin al Mutsanna (210 H-307 H).

Musnad Abu Ya’la sendiri ada yang dikenal dengan kitab musnad yang besar dan adapula kitab musnad yang kecil. Dan kitab yang dibahas ini adalah kitab musnad  yang besar (Musnad al Kabir)